Bombana, harianpopuler.com - Sulawesi Tenggara - Aksi pengeboman ikan yang kembali terjadi di perairan Desa Mawar, Kecamatan Mata Oleo, Kabupaten Bombana, menuai kecaman keras dari masyarakat dan kalangan akademisi. Tindakan destruktif tersebut dinilai telah merusak ekosistem laut, mengancam keberlanjutan biota perairan, serta memukul mata pencaharian nelayan tradisional. Senin, 13/10
Salah satu suara keras datang dari Fadhil Aditya, mahasiswa Jurusan Teknologi Pembenihan Ikan (TPI) Politeknik Bombana sekaligus Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) TPI. Ia menyebut aksi pengeboman ikan sebagai bentuk kejahatan lingkungan yang nyata, namun masih sering diabaikan oleh aparat penegak hukum.
“Kejadian seperti ini bukan hal baru, tapi yang sangat disayangkan adalah lemahnya pengawasan dari pihak Polairud, Dinas Perikanan, dan aparat keamanan wilayah perairan. Mereka seolah tutup mata terhadap kejahatan lingkungan yang jelas-jelas merusak masa depan laut kita,” tegas Fadhil.
Lebih lanjut, Fadhil menjelaskan bahwa dampak dari pengeboman ikan bersifat jangka panjang. Terumbu karang yang hancur memerlukan waktu puluhan tahun untuk pulih, populasi ikan akan menurun drastis, dan nelayan kecil kehilangan sumber penghidupan utama.
“Kami sebagai mahasiswa perikanan tidak bisa tinggal diam melihat laut Bombana dihancurkan oleh tangan-tangan serakah. Ini bukan sekadar pelanggaran, tapi kejahatan lingkungan. Kami mendesak Polairud, Dinas Perikanan, dan aparat keamanan agar segera bertindak, menangkap para pelaku, serta membuka hasil penyelidikan secara transparan kepada publik,” tambahnya.
Fadhil juga memberikan peringatan moral kepada aparat agar tidak menyepelekan masalah tersebut.
“Jika dalam waktu dekat tidak ada langkah nyata, kami mahasiswa siap turun ke lapangan untuk menuntut keadilan lingkungan. Laut bukan warisan untuk dirusak, tapi titipan untuk dijaga,” ujarnya tegas.
Dasar Hukum: Pengeboman Ikan Merupakan Tindak Pidana Berat
Secara hukum, tindakan pengeboman ikan merupakan pelanggaran berat sebagaimana diatur dalam Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, bahan beracun, atau bahan lain yang membahayakan kelestarian sumber daya ikan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).”
Dengan landasan hukum tersebut, masyarakat dan mahasiswa menegaskan agar aparat penegak hukum tidak hanya sebatas melakukan patroli seremonial, tetapi benar-benar menegakkan hukum secara tegas dan konsisten terhadap para pelaku.
Masyarakat juga berharap agar Polairud dan Dinas Perikanan Bombana memperketat pengawasan di wilayah pesisir, melakukan patroli rutin, serta memastikan tidak ada lagi praktik destruktif yang merusak kelestarian laut.
Karena, seperti disampaikan Fadhil, “Menjaga laut berarti menjaga masa depan ekonomi dan ekologi Bombana.”

