Polewali Mandar, harianpopuler.com – Sengketa lahan seluas 22 hektare di Kabupaten Polewali Mandar kembali memicu polemik hukum. Nama Baco Commo menjadi sorotan setelah mengajukan gugatan atas kepemilikan tanah yang secara legal telah dimiliki oleh Hj. Sumrah berdasarkan akta jual beli resmi sejak tahun 1994. Gugatan tersebut dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan dianggap sebagai upaya memanipulasi fakta oleh pihak tergugat.
Kasus ini mencuat dalam perkara dengan Putusan Nomor 52, yang oleh sejumlah pihak dinilai hanya sebagai kedok untuk menghidupkan kembali sengketa lama yang telah dinyatakan tuntas melalui Putusan Nomor 31. Dalam putusan terdahulu, empat penggugat yakni Bukhari, H. Bangu, H. Empari, dan H. Pandang dinyatakan menang atas pihak lain. Putusan tersebut menjadi dasar hukum yang sah bagi Hj. Sumrah dalam memperoleh kepemilikan lahan melalui akta jual beli yang disertai rekomendasi pemerintah setempat.
Kuasa hukum Hj. Sumrah, Yusril Maricar, SH, menyatakan bahwa gugatan terbaru yang diajukan Baco Commo tidak memiliki pijakan hukum yang jelas. “Ini bukan gugatan hukum, melainkan gugatan ego yang dibungkus tipu daya,” tegas Yusril saat diwawancarai pada Sabtu (2/11/2025).
Kisruh Lahan Hj. Sumrah di Polman: Aparat Diduga Abai Saat Terjadi Pengrusakan Pagar
Lebih lanjut, Yusril menegaskan bahwa Baco Commo tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum yang sah dalam perkara tersebut. “Baco Commo hanya bertindak sebagai kuasa dari sekelompok orang yang mengaku sebagai masyarakat penggarap, padahal mereka tidak memiliki hak hukum atas tanah tersebut. Ini murni manipulasi opini publik,” jelasnya.
Dalam berkas gugatan, Baco Commo disebut mewakili 32 orang, bahkan sebelumnya diklaim mewakili hingga 30 ribu orang penggugat. Yusril menilai klaim tersebut sebagai bentuk pembelokan isu. “Ini bukan soal jumlah. Seribu orang pun tidak akan bisa mengubah fakta hukum. Sertifikat atas nama Hj. Sumrah sah dan memiliki dasar hukum yang kuat,” ujarnya.
Sumber hukum di daerah menilai langkah pihak penggugat sebagai bentuk “rekayasa hukum” untuk mengaburkan batas wilayah dan menciptakan keraguan publik. Padahal, objek tanah dalam perkara Nomor 52 diketahui berbeda dan tidak berkaitan dengan lahan milik Hj. Sumrah. “Menggugat sertifikat milik Hj. Sumrah atas kasus yang berbeda dengan objek sengketa sama saja dengan memukul udara,” tambah Yusril.
Perkara tanah dalam Putusan Nomor 31 telah dinyatakan inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Status kepemilikan tanah oleh Hj. Sumrah telah jelas dan tidak dapat diganggu gugat. Meski demikian, upaya membuka kembali kasus dinilai sebagai strategi tekanan moral untuk menciptakan persepsi seolah ada ketidakadilan.
Beberapa pengamat hukum agraria mengungkapkan bahwa manuver pihak Baco Commo merupakan upaya klasik untuk menggiring opini publik dengan membingkai narasi “rakyat kecil melawan pemilik modal”. Taktik ini dinilai menutupi kenyataan bahwa secara hukum mereka telah kehilangan dasar untuk mengklaim kepemilikan.
“Gugatan ini tidak lain merupakan provokasi hukum. Publik harus cermat membedakan antara perjuangan dan provokasi,” tutup Yusril.

