Rabu, 03/09/2025 - Kendari – Koalisi Organisasi Pers yang terdiri dari Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI), Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Asosiasi Wartawan Internasional (ASWIN), dan Media Online Indonesia (MOI) membantah tegas klarifikasi Polres Konawe terkait dugaan perlakuan tidak pantas terhadap sejumlah wartawan. Klarifikasi yang beredar melalui pesan WhatsApp itu dinilai tidak sesuai dengan fakta lapangan dan dianggap sebagai narasi menyesatkan publik.
Klarifikasi Polres Dinilai Bohong dan Tidak Sesuai Fakta
Polres Konawe sebelumnya menyampaikan bahwa pengambilan keterangan wartawan dilakukan sesuai prosedur standar operasional (SOP) karena adanya potensi konflik. Namun, Koalisi Pers menegaskan hal tersebut tidak benar dan justru merupakan bentuk pelecehan terhadap profesi wartawan.
“Kalau itu SOP, berarti SOP Polri sudah berubah. Karena kenyataannya wartawan diminta memberikan keterangan, menandatangani dokumen, difoto bersama terduga pelaku, bahkan diperlakukan tidak humanis. Itu jelas bukan SOP, melainkan pelecehan profesi,” tegas perwakilan Koalisi Pers.
Payung Hukum yang Jelas Melindungi Wartawan
Koalisi Pers mengingatkan bahwa Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 memberikan perlindungan hukum yang tegas bagi wartawan.
Pasal 4 ayat (3): Pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Pasal 8: Wartawan dalam menjalankan profesinya mendapat perlindungan hukum.
Selain itu, aturan internal Polri juga menegaskan kewajiban aparat untuk bersikap humanis dan menjunjung asas praduga tak bersalah, sebagaimana tertuang dalam:
Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Perkapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.
Fakta di Lapangan: Wartawan Tidak Bersembunyi
Dalam klarifikasinya, Polres menyebut wartawan “bersembunyi di mobil” dan tidak sedang bertugas. Namun, fakta di lapangan menunjukkan para wartawan saat itu dalam perjalanan pulang usai meliput, sekaligus menuju undangan peliputan lain di Besulutu.
Mereka bahkan sempat melakukan konfirmasi dengan warga untuk keberimbangan pemberitaan. Namun, miskomunikasi dengan warga Trans Bali memicu ketegangan hingga polisi turun tangan.
“Kami sejak awal sudah menyatakan identitas sebagai wartawan, lengkap dengan atribut dan peralatan pers. Polisi tahu itu. Tapi tetap saja kami diperlakukan layaknya bandar narkoba. Itu penghinaan terhadap profesi kami,” tegas Koalisi Pers.
Humanis di Atas Kertas, Arogan di Lapangan
Koalisi Pers mengapresiasi upaya Kapolres Konawe yang sempat melindungi wartawan dari potensi amukan massa. Namun, sikap arogan oknum anggota di lapangan dinilai mencederai marwah institusi Polri.
“Klarifikasi Polres Konawe adalah bentuk manipulasi informasi. Banyak saksi mata melihat langsung kejadian tersebut. Jika itu disebut SOP, maka SOP tersebut jelas bertentangan dengan UU Pers dan aturan internal Polri,” ujar perwakilan Koalisi Pers.
Tuntutan Koalisi Pers
Koalisi mendesak Irwasda Polda Sulawesi Tenggara untuk turun tangan melakukan evaluasi sekaligus menghadirkan anggota Polres Konawe dalam rapat dengar pendapat terbuka. Hal ini untuk memastikan siapa yang benar-benar menjalankan SOP dan siapa yang menyalahgunakan wewenang.
Kesimpulan
Koalisi Pers menilai tindakan Polres Konawe melanggar Kode Etik Profesi Polri sekaligus UU Pers No. 40 Tahun 1999. Klarifikasi yang disebarkan melalui WhatsApp bukan hanya menyesatkan publik, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
“Pers bukan musuh Polri. Namun, jika pers diperlakukan seperti pelaku kejahatan, kami akan melawan dengan kebenaran, fakta, dan hukum. Jika oknum Polres Konawe tetap berpegang pada kebohongan dan menolak mengakui kelalaian, kami siap menggelar aksi besar-besaran bersama masyarakat luas yang juga sudah muak dengan sikap arogansi aparat,” tegas Koalisi Pers.