Pusaran Korupsi Tambang di Kolaka Utara: Benarkah Kawilker Kolut Jadi Kambing Hitam?

Search

Welcome di www.harianpopuler.com Kontributor Liputan Artikel,Berita,Video kirim CP/HP : 0838 4370 0286.

Advertisement

PT.Marketindo Selaras di Laporkan di Kejati Sultra Oleh KeTum HMI MPO Konawe Selatan (Konsel). Dengan Dugaan Penyerobotan Lahan.., Berlubang,Hancur Dan Rusak Parah Jalan Poros di Desa Awuliti, Desa Meraka Lambuya Kab.Konawe www.harianpopuler.com

Pusaran Korupsi Tambang di Kolaka Utara: Benarkah Kawilker Kolut Jadi Kambing Hitam?

Admin Mediaku 02
Rabu, 14 Mei 2025

Pusaran Korupsi Tambang di Kolaka Utara: Benarkah Kawilker Kolut Jadi Kambing Hitam?


Rabu, 14 Mei 2025. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara kembali menunjukkan komitmennya dalam memberantas tindak pidana korupsi, khususnya di sektor pertambangan. Setelah sebelumnya berhasil mengungkap kasus korupsi di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Aneka Tambang (Antam) di Kabupaten Konawe Utara pada tahun 2023, kini Kejati Sultra mengalihkan fokus penyelidikannya ke Kabupaten Kolaka Utara.


Dalam pengusutan terbaru ini, sejumlah perusahaan diduga terlibat, antara lain PT Pandu Citra Mulia (PCM), PT Kurnia Mining Resources (KMR), dan PT Alam Mitra Indah Nugraha (AMIN). Hingga saat ini, lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk dari jajaran perusahaan terkait serta pejabat Syahbandar Kolaka.


Namun demikian, dalam proses penyidikan tersebut muncul kekhawatiran akan adanya upaya pengalihan tanggung jawab kepada pihak yang tidak memiliki otoritas utama. Salah satu pihak yang kini menjadi sorotan adalah Kepala Wilayah Kerja (Kawilker) Pelabuhan Kolaka Utara. Ia diduga terlibat dalam proses keberangkatan ore nikel ilegal melalui terminal umum tanpa dokumen resmi, sehingga desakan untuk menetapkannya sebagai tersangka mulai mencuat.


Tuduhan Tanpa Dasar yang Kuat?


Aktivitas pertambangan ilegal ini diperkirakan berlangsung sepanjang tahun 2023, terutama di WIUP milik PT PCM dan PT Kurnia Teknik Jayatama (KTJ). Ore nikel yang ditambang secara ilegal diduga dikapalkan melalui terminal khusus milik PT KMR, menggunakan dokumen pengapalan (dokumen "terbang") atas nama PT AMIN. Dokumen tersebut disahkan melalui penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) oleh Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas III Kolaka.


Perlu diketahui bahwa saat ini sistem penerbitan SPB dan dokumen pelayaran lainnya telah dilakukan secara digital melalui sistem Inapornet. Dalam sistem ini, wewenang penerbitan SPB berada sepenuhnya di tangan KUPP Kelas III Kolaka, bukan di wilayah kerja pelabuhan (Wilker) Kolaka Utara. Prosesnya pun bersifat terpusat dan dilakukan melalui pemindaian kode batang (barcode) yang hanya dapat disahkan oleh pejabat yang memiliki otoritas resmi.


Dengan sistem digital yang telah terstandarisasi ini, tudingan bahwa Kawilker Kolaka Utara merupakan aktor utama dalam praktik ilegal tersebut tampak tidak memiliki dasar hukum dan teknis yang kuat. Tuduhan tersebut lebih mencerminkan upaya pengalihan isu daripada proses penegakan hukum yang objektif dan akurat.


Penyelidikan Perlu Fokus pada Akar Permasalahan


Seyogianya, fokus penyelidikan Kejati Sultra diarahkan kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan atas manipulasi data dalam sistem Inapornet. Terdapat indikasi kuat bahwa terjadi pemalsuan atau rekayasa data untuk memungkinkan diterbitkannya SPB atas nama PT AMIN guna mendukung pengapalan ore dari terminal milik PT KMR, meskipun tidak terdapat kerja sama resmi antara kedua perusahaan tersebut yang diakui oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.


Selain itu, dari sudut pandang efisiensi dan logika bisnis, kerja sama semacam itu juga sulit diterima, mengingat jarak antara lokasi kegiatan masing-masing perusahaan yang cukup jauh dan tidak menguntungkan secara operasional.


Penutup


Menyeret Kawilker Pelabuhan Kolaka Utara dalam kasus ini tampaknya merupakan langkah yang dipaksakan dan tidak selaras dengan fakta hukum maupun prosedur teknis yang berlaku. Oleh karena itu, Kejati Sultra perlu mempertegas arah penyelidikan dengan menyasar individu atau kelompok yang memiliki akses dan kendali atas sistem digital yang digunakan untuk memfasilitasi aktivitas tambang ilegal.


Jika penegakan hukum ingin menyentuh akar persoalan secara menyeluruh, maka fokus utama harus diarahkan pada aktor-aktor yang memiliki kewenangan strategis dalam sistem pengawasan dan perizinan—bukan pada pihak yang berada di pinggiran struktur birokrasi dan tidak memiliki kapasitas untuk mengubah atau memanipulasi sistem secara langsung.